Senin, 24 November 2014

Punggung (Cerpen)


Aku tak pernah sekalipun dengan jelas melihat wajahnya, yang kutahu dia  adalah laki-laki bernama Rifki, yang mempunyai rambut keriting dengan tinggi 178 cm, yang entah kenapa dengan suaranya yang sumbang dan fales, dia begitu PD menyanyikan lagu “Mother”nya Seamo. Selama dia duduk di belakangku dia tak pernah absen menggumamkan lagu itu, saat pelajaran atau bahkan saat semuanya sedang sibuk mencatat, dia masih saja menggumamkan lagu berbahasa jepang itu. 
Sebenarnya tak ada yang menarik darinya, dia selalu datang 15 menit setelah guru masuk, dan aku lebih memilih memperhatikan guru daripada mengalihkan perhatianku pada laki-laki berisik itu. Tapi anehnya, dia adalah orang yang pertama kali keluar kelas saat pelajaran berakhir, di selalu seperti setengah berlari ketika meninggalkan kelas, dan aku yang sebenarnya agak penasaran dengan wajahnya itu tetapi terlalu malu jika harus menengok ke belakang, hanya di beri kesempatan untuk melihat punggungnya dari kejauhan. Aku begitu hafal bentuk punggung laki-laki itu, aku bahkan bisa mencari mana punggungnya walaupun dia berada ditengah kerumunaan orang. Punggungnya itu, walaupun tegap entah kenapa seperti telah berpengalaman menanggung beribu ribu beban. Seperti sedang dipaksakan untuk tegap walaupun belum siap. Bahu kanannya pun tak simetris dengan bahu kirinya. Dan aku, seperti mempunyai radar untuk mencari punggung abnormal itu, dimanapun tempatnya.
Tapi sayangnya, punggung yang membuatku penasaran itu, tak terlihat 6 hari terakhir ini, tepat di saat aku memutuskan untuk melihat wajahnya. Entahlah, aku juga tak tahu mengapa dia tak masuk, tak ada satupun surat izin yang datang darinya untuk menjelaskan kenapa dia tak masuk sekolah. Dan aku baru sadar betapa sepinya suasana kelas bila suara sumbang itu tak menyanyi. Seperti ada yang hilang dari kehidupanku.
Tepat seminggu, dan dia belum menampakkan batang hidungnya, dan mataku tak bisa berhenti mencari punggung itu. Di kumpulan anak-anak yang sedang nongkrong, di kumpulan orang-orang pengajian, di kumpulan remaja masjid, di kumpulan anak-anak jalanan, orang ngamen bahkan di kumpulan ibu-ibu PKK hasilnya tetap saja Nihil, punggung itu tak kunjung muncul.
“ Ah sudahlah, lagi pula untuk apa aku mencari hal absurd seperti itu” itulah kata terakhir yang aku ucapkan sebelum aku melihat punggung itu lagi, tepat setelah ada sms dari ketua kelas bahwa Ibu laki-laki itu meninggal. Hari itu tanpa pikir panjang aku langsung menuju kerumahnya, masih dengan seragam abu-abu putih yang melekat di tubuhku. Rumah yang belum di tembok itu begitu sesak di jejali orang-orang berpakaian hitam, mereka tampak sendu, dengan air mata yang seperti tak habis mengalir di pipi. Aku melihat 3 anak yang berumur sekitar 6,8,12 meraung-raung di dekat keranda warna hijau itu sambil memanggil “ibu’ berulang-ulang dengan suara yang begitu menyayat dan memilukan hati. Tepat di depan keranda itulah aku melihat punggung itu bergetar mengikuti isakan tangisnya yang tak bersuara. Tangannya yang kekar menggendong anak berumur 1 tahun yang sedang tidur dengan lelapnya di tengah isak tangisnya. Dan ini pertama kalinya kulihat punggung tegap laki-laki itu runtuh. Dia seperti tak sanggup lagi menanggung beban yang membesar berpuluh puluh kali lipat dari berat tubuhnya. Aku mundur teratur, seketika itu rasa penasaranku pada wajahnya menghilang. Aku trauma dengan sikap punggung seperti, sikap punggung seperti itulah yang menyebabkan keluargaku tak utuh dan perusahaan kami bangkrut. Dan aku tahu persis apa arti sikap punggung itu, punggung itu mengatakan bahwa dia telah menyerah pada nasibnya.
Pada akhirnya aku memilih pergi tanpa pernah tau wajah laki-laki itu, dan duganku benar, setelah kejadian itu, dia tak pernah masuk sekolah lagi, aku mendengar dari teman akrabnya bahwa dia harus bekerja untuk menghidupi ke 4 adiknya setelah ibunya meninggal, Ayahnya tak pernah kembali lagi sejak pamit pergi untuk jadi TKI 2 tahun lalu, dan ia beralih fungsi menjadi tulang punggung keluarga sejak saat itu.

 Berpuluh puluh tahun kemudian, aku menemukan punggung yang sempat runtuh itu, berdiri tegap lagi. masih dengan bahu tak simetrisnya yang membuat posisi duduknya terlihat agak aneh, masih dengan rambut keritingnya yang seperti mengiklankan salah satu produk mie instan, masih dengan tingginya yang tak terlalu jauh dari 178 Cm, dan masih dengan suara falesnya yang selalu menyanyikan lagu “Mother”. Punggung itu kini berdiri lebih tegap dari pada ketika aku bertemu pertama kali dulu, karena memang di butuhkan punggung yang tegap untuk memimpin perusahaan minyak miliknya. Aku juga tak mengerti bagaimana bisa dia bangkit dari keterpurukannya. Bahkan punggung itu masih tetap dapat berdiri tegap walaupun dialah orang yang membantu menanggung dan menyelesaikan beban-bebanku, dan berbagi denganku untuk menanggung beban putriku dan putrinya. Ya…punggung abnormal itu sekarang milikku, karena dia suamiku.

0 komentar:

Posting Komentar