Aku
tak pernah sekalipun dengan jelas melihat wajahnya, yang kutahu dia adalah laki-laki bernama Rifki, yang
mempunyai rambut keriting dengan tinggi 178 cm, yang entah kenapa dengan
suaranya yang sumbang dan fales, dia begitu PD menyanyikan lagu “Mother”nya
Seamo. Selama dia duduk di belakangku dia tak pernah absen menggumamkan lagu
itu, saat pelajaran atau bahkan saat semuanya sedang sibuk mencatat, dia masih
saja menggumamkan lagu berbahasa jepang itu.
Sebenarnya
tak ada yang menarik darinya, dia selalu datang 15 menit setelah guru masuk,
dan aku lebih memilih memperhatikan guru daripada mengalihkan perhatianku pada
laki-laki berisik itu. Tapi anehnya, dia adalah orang yang pertama kali keluar
kelas saat pelajaran berakhir, di selalu seperti setengah berlari ketika
meninggalkan kelas, dan aku yang sebenarnya agak penasaran dengan wajahnya itu tetapi
terlalu malu jika harus menengok ke belakang, hanya di beri kesempatan untuk
melihat punggungnya dari kejauhan. Aku begitu hafal bentuk punggung laki-laki
itu, aku bahkan bisa mencari mana punggungnya walaupun dia berada ditengah
kerumunaan orang. Punggungnya itu, walaupun tegap entah kenapa seperti telah
berpengalaman menanggung beribu ribu beban. Seperti sedang dipaksakan untuk
tegap walaupun belum siap. Bahu kanannya pun tak simetris dengan bahu kirinya.
Dan aku, seperti mempunyai radar untuk mencari punggung abnormal itu, dimanapun
tempatnya.
Tapi
sayangnya, punggung yang membuatku penasaran itu, tak terlihat 6 hari terakhir
ini, tepat di saat aku memutuskan untuk melihat wajahnya. Entahlah, aku juga
tak tahu mengapa dia tak masuk, tak ada satupun surat izin yang datang darinya
untuk menjelaskan kenapa dia tak masuk sekolah. Dan aku baru sadar betapa
sepinya suasana kelas bila suara sumbang itu tak menyanyi. Seperti ada yang
hilang dari kehidupanku.
Tepat
seminggu, dan dia belum menampakkan batang hidungnya, dan mataku tak bisa
berhenti mencari punggung itu. Di kumpulan anak-anak yang sedang nongkrong, di
kumpulan orang-orang pengajian, di kumpulan remaja masjid, di kumpulan
anak-anak jalanan, orang ngamen bahkan di kumpulan ibu-ibu PKK hasilnya tetap
saja Nihil, punggung itu tak kunjung muncul.
“ Ah
sudahlah, lagi pula untuk apa aku mencari hal absurd seperti itu” itulah kata
terakhir yang aku ucapkan sebelum aku melihat punggung itu lagi, tepat setelah
ada sms dari ketua kelas bahwa Ibu laki-laki itu meninggal. Hari itu tanpa
pikir panjang aku langsung menuju kerumahnya, masih dengan seragam abu-abu
putih yang melekat di tubuhku. Rumah yang belum di tembok itu begitu sesak di
jejali orang-orang berpakaian hitam, mereka tampak sendu, dengan air mata yang
seperti tak habis mengalir di pipi. Aku melihat 3 anak yang berumur sekitar
6,8,12 meraung-raung di dekat keranda warna hijau itu sambil memanggil “ibu’
berulang-ulang dengan suara yang begitu menyayat dan memilukan hati. Tepat di
depan keranda itulah aku melihat punggung itu bergetar mengikuti isakan
tangisnya yang tak bersuara. Tangannya yang kekar menggendong anak berumur 1
tahun yang sedang tidur dengan lelapnya di tengah isak tangisnya. Dan ini
pertama kalinya kulihat punggung tegap laki-laki itu runtuh. Dia seperti tak
sanggup lagi menanggung beban yang membesar berpuluh puluh kali lipat dari
berat tubuhnya. Aku mundur teratur, seketika itu rasa penasaranku pada wajahnya
menghilang. Aku trauma dengan sikap punggung seperti, sikap punggung seperti
itulah yang menyebabkan keluargaku tak utuh dan perusahaan kami bangkrut. Dan
aku tahu persis apa arti sikap punggung itu, punggung itu mengatakan bahwa dia
telah menyerah pada nasibnya.
Pada
akhirnya aku memilih pergi tanpa pernah tau wajah laki-laki itu, dan duganku
benar, setelah kejadian itu, dia tak pernah masuk sekolah lagi, aku mendengar
dari teman akrabnya bahwa dia harus bekerja untuk menghidupi ke 4 adiknya
setelah ibunya meninggal, Ayahnya tak pernah kembali lagi sejak pamit pergi
untuk jadi TKI 2 tahun lalu, dan ia beralih fungsi menjadi tulang punggung
keluarga sejak saat itu.
Berpuluh puluh tahun kemudian, aku menemukan
punggung yang sempat runtuh itu, berdiri tegap lagi. masih dengan bahu tak
simetrisnya yang membuat posisi duduknya terlihat agak aneh, masih dengan
rambut keritingnya yang seperti mengiklankan salah satu produk mie instan,
masih dengan tingginya yang tak terlalu jauh dari 178 Cm, dan masih dengan
suara falesnya yang selalu menyanyikan lagu “Mother”. Punggung itu kini berdiri
lebih tegap dari pada ketika aku bertemu pertama kali dulu, karena memang di
butuhkan punggung yang tegap untuk memimpin perusahaan minyak miliknya. Aku
juga tak mengerti bagaimana bisa dia bangkit dari keterpurukannya. Bahkan
punggung itu masih tetap dapat berdiri tegap walaupun dialah orang yang membantu
menanggung dan menyelesaikan beban-bebanku, dan berbagi denganku untuk
menanggung beban putriku dan putrinya. Ya…punggung abnormal itu sekarang
milikku, karena dia suamiku.
0 komentar:
Posting Komentar