Senin, 10 November 2014

(Cerpen) "Bounty Hunter "

Bounty Hunter
(Pemburu Bayaran)
“Ker” begitulah setiap orang memanggilku. Nama panjangku memang pendek, dan nama pendekku adalah nama panjangku, hanya 3 huruf itu, dan tak ada tambahan apapun di belakang atau di depannya. Ketika umurnku 4 tahun, aku selalu bertanya pada ayahku dengan suara cedalku, mengapa namaku begitu “tanggung?” dan mengapa ayah begitu terburu-buru sampai tak sempat menyelesaikan namaku? dan akhir dari percakapan itu aku selalu memaksa ayahku untuk melanjutkan namaku yang tampak belum selesai itu, dengan huruf apapun. Aku bahkan pernah mengusukan namaku menjadi ‘Kera’ atau ‘Keren’. Tapi ayahku yang selalu nampak sibuk dengan kertas berisi nama-nama orang itu. Dari caranya melirikku sambil lalu, aku tahu bahwa dia tidak tertarik menjawab pertanyaanku, Kalaupun dia menjawab, dia akan  akan menjawab yang sebenarnya tak ku tanyakan.
“Kau tidak bisa menyebutkan namamu dengan suara itu, bunyi namamu bukan seperti ketika kau mengatakan “Kereta”, “Kerja” atau “Keramas”, kau harus meletakkan lidahmu di bawah gigi agar dapat mengucapkan namamu dengan benar.” Ya…begitulah cara ayahku membungkamku, dia  menjelaskan bahwa pengucapan namaku salah, dan selalu membenarkanku dengan teori lidahnya yang justru membuatku semakin bingung. “Salah sendiri memberi nama aneh.” Tak beberapa lama setelah gerutuanku itu, aku akan membiarkan ayah sendirian di ruang kerjanya yang gelap.
1 tahun kemudian, aku berhenti menyebut namaku sendiri dengan sebutan ‘aneh’, dan berbalik menjadi sangat menyukai nama itu. Oh iya, aku juga sudah benar menyebut namaku. Ternyata bunyinya sama seperti ketika orang batak menyebutkan “Kerja”. Kekagumanmu pada namaku itu bermula  ketika sedikit demi sedikit aku  dapat membaca. Aku menemukan buku 3000 halaman di perpustakaan ayahku yang membahas tentang “Ker”. Buku berjudul “Dewa Kematian” itu mengatakan bahwa Ker adalah dewi kematian dalam mitologi Yunani, yang membawa kematian yang kejam, termasuk kematian dalam pertempuran, kecelakaan, pembunuhan atau penyakit. Di buku itu juga dikatakan bahwa Ker adalah makhluk yang haus darah dan secara kejam merobek jiwa dari tubuh yang sekarat lalu mengirimnya ke dunia bawah. Ribuan Ker berterbangan di atas area pertempuran, dan jika ada manusia yang mati, maka para Ker akan saling berebut seperti burung pemakan bangkai. Dan bagian yang menurutku paling menarik adalah bahwa Ker sebenarnya tidak berkuasa atas hidup dan mati manusia tetapi sifat haus darah mereka menjadikan para Ker berusaha membuat orang-orang mati. Zeus dan dewa-dewa lainnya bisa menghentikan atau mempercepat para Ker. Dan Para dewa Olimpus sering berdiri di dekat pasukan yang mereka dukung untuk mencegah datangnya para Ker pada pasukan mereka.
Aku bersyukur karena wajahku tidak mirip dengan dewa kematian yang namanya mirip denganku itu. Kalian tahu? Wajahnya benar-benar buruk rupa, hidungnya seperti paruh burung yang panjang, bengkok dan lancip di bagian ujungnya. Di punggungnya terdapat dua sayap dan seluruh kaki dan tangannya dipenuhi sisik yang nampak menjijikkan. Aku tak pernah mengerti mengapa Ayahku memberi nama, dengan nama dewa mengerikan itu hingga suatu hari, aku melakukan hal buruk yang tak akan di lupakannya seumur hidup, sekaligus membuatku mengerti mengapa ayahku memberiku nama “Ker”.
                                                            ***

Pagi itu entah dengan alasan apa, ayahku mengajari putra satu-satunya  ini dengan pelajaran yang harusnya tidak di berikan oleh anak umur 5 tahun sepertiku. Dia memberiku pistol semi otomatis walther-P99, yang tak beberapa lama kemudian, aku tahu bahwa jenis pistol itu adalah termasuk 10 besar pistol terbaik di dunia. Aku memegangnya dengan takut, benda itu begitu berat dan besar di tangan mungilku. Ayahku bilang bahwa aku adalah satu-satunya penerusnya dan mau tak mau aku harus terbiasa memegang benda berbahaya itu. Pada saat itu aku tak mengerti, apa hubungannya antara aku yang penerusnya dan “terbiasa dengan pistol?”, bukannya aku tinggal duduk di belakang kursi penuh dokumen berisi nama-nama, untuk menjadi penerusnya?
            “Aku akan mencontohkanmu satu kali, dan kau harus melakukan seperti apa yang kulakukan.” Ayah mengarahkan pistol itu pada boneka tedy bear kesayanganku yang diletakkan di atas drum minyak. Aku melihat ayahku menarik pelatuknya dan pistol itu memuntahkan bunyi desingan yang membuatku menutup mata dan menutup telinga dengan kedua tangan mungilku. Peristiwa selanjutnya yang kuingat adalah ayahku memaksaku menembak dengan cara yang sama, di tengah isak tangisku yang pecah karena beruang tedy bear kesayanganku sekarang  hanya mempunyai satu mata, beruang tedy bear malangku itu sekarang cacat oleh tembakan ayahku.
            “Jangan menangis seperti perempuan ! Tak seharusnya kau menyayangi apapun !“ Itulah kata terakhir ayahku, sebelum aku terpaksa mengangkat pistol, mengarahkan pada balon warna merah yang di gantungkan di atas pohon. Mataku masih kabur dengan air mata yang tak bisa berhenti. Aku menarik pelatuknya sambil memejamkan mata. Selanjutnya adalah peristiwa-peristiwa mengerikan. Aku hanya bisa mengingatnya seperti slide-slide yang berkeliaran di pikiranku. Slide pertama aku terjengkang karena tak kuat menahan tekanan pistol itu. Slide kedua aku melihat pistol itu terlepas dan membumbung ke langit. Slide ketiga aku melihat orang-orang termasuk ayahku mengerumuni seseorang. Slide keempat aku melihat ayahku yang beruraian air mata pergi dengan membopong mamaku yang dadanya berlumuran darah. Slide terakhir adalah slide yang paling mengerikan kerena melihat diriku sendiri mengatakan
“Jangan menangis seperti perempuan ! Tak seharusnya kau menyayangi apapun !“ kata-kataku itu, tentu saja ku tunjukkan pada ayahku, walaupun pada saat itu sebenarnya aku juga sangat sedih karena kehilangan Mamaku, setidaknya aku bisa memberi pelajaran ayahku bahwa kata itu adalah kata yang paling menyakitkan  dan kata yang tidak tepat untuk diucapkan pada orang  baru saja kehilangan sesuatu yang dia sayangi.
                                                            ***
Saat ini umurku 10 tahun, dan seperti kata ayah dulu, aku adalah satu-satunya penerus ayahku. Penerus ayahku untuk menjadi “Bounty Hunter”, orang-orang yang dibayar untuk membunuh orang lain. Sekarang aku begitu mahir memegang senjata jenis apapun, senjata apapun yang bisa dipakai untuk membunuh orang, dan tentunya tanpa salah sasaran. Alih-alih trauma memegang pistol ketika aku menyadari bahwa tembakanku membuat mamaku terbunuh, aku justru ketagihan dan tergila-gila untuk membunuh orang dengan tembakanku, yaa…aku tahu bahwa tidak sedikit orang yang menyebutku kelainan jiwa karena di tengah acara pemakam mamaku, bukannya menangis, aku justru sibuk membersihkan pistolku, tapi apa peduliku dengan acara pemakaman itu? Menangis tak akan membuat mamaku hidup kembali seperti tak akan membuat teddy bearku mempunyai mata lagi bukan?
            Bersamaan dengan berakhirnya hidup mamaku, berakhir pula hubungan hangatku dengan ayahku. Aku tak ingat kapan terakhir kalinya ayahku memelukku, menepuk pundakku dan memanggil dengan sebutan “nak”, ia juga berhenti berbicara padaku, sampai aku lupa bagaimana suaranya. Ayahku selalu menitipkan pesan pada anak buahnya  untuk disampaikan padaku. Dia bahkan diam saja ketika teman-temannya memuji kemampuan menembakku. Caranya memandangku berbeda ketika ia memandang anak buahnya, aku tak mengerti arti tatapannya padaku sampai aku melihat dengan mata kepalaku sendiri ketika ayahku menembak Pak Maher, musuh terberat ayahku. Ya…cara dia menatapku sama dengan caranya menatap musuh terbesarnya, walaupun Pak Yan kolega ayahku, berkali-kali mengatakan bahwa aku terlalu berlebihan, dan meyakinkanku bahwa itu hanyalah perasaan bersalahku karena membunuh mamaku. Aku selalu ingin menanyakan kenapa ia melakukan itu padaku ketika ayahku berpapasan denganku, sungguh…aku benar-benar ingin tahu alasannya, tapi mulutku selalu terkunci ketika dia menatapku dengan tatapan muak itu.
                                                                        ***
            Selama 10 tahun hidupku aku sudah membunuh lebih dari 20 orang termasuk mamaku, aku bahkan berada diurutan teratas sniper terhebat yang dimiliki ayahku. Aku masih ingat, mangsa pertamaku adalah imigran gelap yang bekerja menjadi bandar kokain yang bersembunyi di pabrik rokok yang telah ditinggalkan pemiliknya karena bangkrut. Wajah polosku mungkin membuat orang itu mengira bahwa aku hanyalah salah satu anak-anak penangkap belalang yang sering berkeliaran di sekitar pabrik itu, bandar itu dengan bodohnya memberiku permen karet yang diambil dari kantung celananya, dan menyuruhku cepat pergi. Tentu saja aku menerimanya dengan senang hati, anak kecil mana yang tak suka permen karet? Sebelum aku pergi, aku bahkan mengucapkan terimakasih padanya, dan  dengan senyum licik aku menembak tepat di kepalanya. Dan setelah itu aku mendapatkan 600 juta untuk tambahan uang sakuku.
            Sejak saat itu, aku begitu laris, setidaknya minimal aku membunuh 2 orang dalam satu minggu. Bisnis gelap ayahku ini, memang sudah begitu professional dan terkenal, gangster manapun akan berkeringat jika mendengar nama ayahku. Perjanjian dibisnis kami adalah kami tidak akan memihak pada organisasi manapun, asalkan mereka memberikan bayaran lebih 1 milyar kami akan membunuhnya. Aku bahkan pernah membunuh orang yang baru saja membayarku untuk membunuh orang lain atas perintah keluarga musuhnya yang dendam, jadi aku dengan tenangnya membunuh orang yang ia perintahkan untuk dibunuh lalu satu jam kemudian aku menghampirinya untuk mencabut nyawanya. Tapi ketika aku membunuh aku mengajukan syarat, aku menolak membunuh wanita yang mempunyai anak untuk alasan apapun dan untuk bayaran berapapun. Kasihan tentu saja bukan alasanku, aku hanya tidak suka ada anak-anak yang kisah hidupnya sama denganku, aku benci mempunyai saingan. Membunuh memang sudah seperti candu buatku, aku seperti sakau jika tak ada mangsa yang harus ku bunuh, dan secara membabi buta aku akan membunuh 2 atau 3 orang bawahan ayahku sebagai gantinya.
                                                                        ***
Mei 2013, aku membaca nama-nama orang yang akan menjadi tarjet selanjutnya, nama itu adalah nama yang dikirim ayahku yang sekarang sedang melakukan sandiwara sebagai “penjahat terkejam” yang di berhasil di tangkap dan di penjara untuk menaikkan citra pemerintah dimata masyarakat, setelah 1 bulan yang lalu citranya anjlok karena kasus korupsi yang dilakukan kubunya. Ayahku dibayar 6 trilyun untuk melepas 6 bulan kebebasannya dengan pura-pura dipenjara, walaupun sebenarnya penjara itu lebih mirip hotel bintang 5 dari pada penjara. 6 bulan kemudian dia akan pura-pura di eksekusi mati. dan ayahku bisa bebas dan kembali ke istananya.
5 bulan 28 hari setelah ayahku di penjara, ayahku sudah mengirimkan 58 nama untuk dibunuh, sebagian besar aku bunuh sebagian lagi aku serahkan pada anak buah ayahku, jika nama yang akan dibunuh adalah orang-orang membosankan, yang akan mati dengan cepat. Anak buah ayahku sering bertanya padaku mengapa aku begitu bersemangat untuk membunuh orang. Pertama kali diajukan pertanyaan seperti itu, sebenarnya aku juga tak tau apa jawabannya, tapi aku begitu puas ketika orang-orang yang akan kubunuh meremehkanku ketika mereka melihatku, aku puas cara mereka terkejut mendengar namaku, aku puas ketika mereka ketakukan melihat moncong pistol yang kuarahkan pada mereka, aku puas ketika mendengar bunyi ”bruk” yang mengiringi jatuhnya badan mereka ke lantai. Aku benar-benar puas ketika darah mereka mengalir mengotori lantai-lantai marmer rumahnya sendiri.
            “Aku ingin kau membunuh orang ini dengan tanganmu sendiri sebelum aku bebas, aku akan mengirim namanya besok. Orang ini berbahaya” begitu bunyi pesan dari ayahku. Aku penasaran, sebelumnya ayahku sama sekali tak pernah mendekteku tentang siapa yang akan kubunuh, biasanya dia hanya memberikan nama dan aku yang akan menentukan siapa yang akan membunuh. Seberapa bahaya orang itu? Apakah orang itu gangster impor yang sudah 5 tahun menjadi incaran ayahku?
Aku membacanya kemudian, dahiku berkerut, aku yakin aku bukanlah orang yang buta huruf, aku sudah bisa membaca sejak usiaku 3 tahun. Tapi aku berharap aku salah membaca dan menemukan nama orang lain selain nama itu untuk tarjet terakhir ayahku sebelum dirinya bebas. Aku berharap ayahku mengatakan “Juni Mop”_ walaupun kedengarannya aneh_,sebagai tanda bahwa dia mengerjaiku, tapi 2 jam berlalu sepertinya ayahku benar-benar berniat untuk melihat kolega terbaiknya itu mati. Adakah hal yang lebih tidak masuk akal dari pada seorang ayah yang menyuruh anaknya untuk bunuh diri? Ya namaku terpampang disana dengan jelas, “KER” begitu ayahku menulis namaku, dengan huruf besar yang seolah menandai besar dendamnya padaku. Tapi kenapa?
            “KAU PIKIR AKU TAK BERANI MELAWANMU !”Aku berteriak, aku bisa mendengar suaraku menggema di ruangan luas yang pengap, aku sudah tak tahan lagi, kemarahan sudah naik diatas kepalaku, jika orang itu tidak mengangapku anaknya, aku juga bisa tak menganggapnya sebagai ayahku. Aku meraih pistol di laciku, mecobanya dengan menembakkannya di monitor yang menampilkan namaku.
            “Kau akan mati seperti monitor itu.” Aku tersenyum, senyum ragu antara kemarahan dan ketakutan. Satu jam kemudian aku mendapati diriku berada di dalam “penjaraan-penjaraan” ayahku. Berdiri tepat di depannya yang sedang menikmati kopi dan sepiring kue brownis, dengan pistol ditangan. Yang menyebalkan adalah ayahku tak mengubah sedikitpun ekpresi datarnya ketika melihatku, aku berani taruhan, pasti dia mendapatkan nilai F dalam pelajaran drama bahasa indonesia.
            “Kau datang?” Katanya, tanpa menggeser matanya dari koran dengan halaman depan yang memberitahukan bahwa dia akan di eksekusi mati besok. Serius…dia manusia yang paling kurang ajar.
            “AKU AKAN MEMBUNUHMU !” kataku menjawab pertanyaannya, tapi aku benci suara bergetar ketika aku mengatakan kata-kata itu. Aku benci ketika keringat bermunculan di telapak tangan dan keningku. Berita gembiranya adalah dia akhirnya menatapku walaupun masih dengan tatapan “menghadapi musuh besarnya.” Dan berita buruknya lagi, kakiku bergetar seketika itu. Apakah aku takut? Aku bahkan tak percaya pada diriku sendiri bahwa aku takut, aku tak pernah merasakan takut sebelumnya, tapi aku lega mendapati ayahku tak memegang pistol jenis apapun di tangannya. Aku mengarahkan pistolku ke matanya agar dia mati seperti tedy bearku. Aku berharap dia berlutut padaku, menangis dan meminta maaf atas perlakuannya selama ini padaku dan memohon agar aku tak menembaknya atau mencegahku dan berkata bahwa aku durhaka karena telah secara kurang ajar berniat membunuh orang yang secara kebetulan dipilih Tuhan untuk menjadi ayahku, sehingga aku bisa memintanya untuk bertobat dan memulai hidup baru untuk menjadi ayah yang baik untuk, memintanya untuk setidaknya sekali saja dalam hidupku memperlihatkan senyumnya. Tapi percaya atau tidak, aku harus menelan kekecewaan karena dia sama sekali tak melakukan hal itu, dia justru memejamkan mata, wajahnya menunjukkan ketidak sabaran untuk merasakan peluruku menerobos rongga matanya.

Sepertinya aku gila, aku tertawa terbahak-bahak. “SIAL ! Apa begitu konyolnya cara orang yang paling di takuti di Negara ini mati? Mati ditangan anaknya?!” aku tertawa lagi. Sedetik kemudian aku diam. Aku menarik nafas dalam mengatakan “Selamat tinggal ayah” dalam hati sebelum aku menarik pelatuknya. Aku bisa melihat peluru itu meluncur dengan gerakan slow motion dimataku, lalu menembus daging seseorang dengan mudahnya.
“Brukk !!!” suara kesukaanku itu akhirnya terdengar, suara itu menggambarkan kemenangan seseorang, dan selanjutnya tentu saja akan segera terlihat warna merah menggenangi lantai penjara yang putih. Aku bisa melihat senyum menyeringai itu, senyum yang menggambarkan kepuasan, seperti senyum yang aku perlihatkan setelah membunuh seseorang.
“Hei! seharusnya itu senyum milikku!” aku ingin berteriak, tapi aku tak sanggup. Aku mulai kesulitan mengambil nafasku dengan pisau pembelah roti menancap di dadaku. Detik-detik terakhir itu, berupa potongan-potongan slide lagi. Slide pertama ayahku mendekatiku, Slide ke dua dia membungkuk di depan tubuhku yang tergeletak berlumuran darah di lantai dengan seringai meremehkannya. Slide ketiga dia mengatakan “ Itu balasan atas kematian mamamu nak” _dengan nada datarnya, tentu saja_, Slide keempat dia meninggalkanku sendirian, aku sempat melirik dinding yang berlubang karena peluruku, tanda  bahwa ayahku menghindari tembakanku untuk melemparkan pisau kue ke dadaku, Slide ke lima aku menemui diriku sendiri tersenyum puas karena pertanyaan yang menghantui tentang “mengapa ayahku membenciku” terjawab. Slide keenam aku melihat dewa buruk rupa yang namanya persis sama sepertiku tersenyum padaku. Slide terakhir gelap…


0 komentar:

Posting Komentar