Bounty
Hunter
(Pemburu
Bayaran)
“Ker” begitulah setiap
orang memanggilku. Nama panjangku memang pendek, dan nama pendekku adalah nama
panjangku, hanya 3 huruf itu, dan tak ada tambahan apapun di belakang atau di
depannya. Ketika umurnku 4 tahun, aku selalu bertanya pada ayahku dengan suara
cedalku, mengapa namaku begitu “tanggung?” dan mengapa ayah begitu terburu-buru
sampai tak sempat menyelesaikan namaku? dan akhir dari percakapan itu aku
selalu memaksa ayahku untuk melanjutkan namaku yang tampak belum selesai itu,
dengan huruf apapun. Aku bahkan pernah mengusukan namaku menjadi ‘Kera’ atau ‘Keren’.
Tapi ayahku yang selalu nampak sibuk dengan kertas berisi nama-nama orang itu. Dari
caranya melirikku sambil lalu, aku tahu bahwa dia tidak tertarik menjawab
pertanyaanku, Kalaupun dia menjawab, dia akan akan menjawab yang sebenarnya tak ku tanyakan.
“Kau tidak bisa
menyebutkan namamu dengan suara itu, bunyi namamu bukan seperti ketika kau
mengatakan “Kereta”, “Kerja” atau “Keramas”, kau harus meletakkan lidahmu di
bawah gigi agar dapat mengucapkan namamu dengan benar.” Ya…begitulah cara
ayahku membungkamku, dia menjelaskan
bahwa pengucapan namaku salah, dan selalu membenarkanku dengan teori lidahnya
yang justru membuatku semakin bingung. “Salah sendiri memberi nama aneh.” Tak
beberapa lama setelah gerutuanku itu, aku akan membiarkan ayah sendirian di
ruang kerjanya yang gelap.
1 tahun kemudian, aku
berhenti menyebut namaku sendiri dengan sebutan ‘aneh’, dan berbalik menjadi
sangat menyukai nama itu. Oh iya, aku juga sudah benar menyebut namaku.
Ternyata bunyinya sama seperti ketika orang batak menyebutkan “Kerja”.
Kekagumanmu pada namaku itu bermula
ketika sedikit demi sedikit aku
dapat membaca. Aku menemukan buku 3000 halaman di perpustakaan ayahku
yang membahas tentang “Ker”. Buku berjudul “Dewa Kematian” itu mengatakan bahwa
Ker adalah dewi kematian dalam mitologi Yunani, yang membawa kematian yang
kejam, termasuk kematian dalam pertempuran, kecelakaan, pembunuhan atau
penyakit. Di buku itu juga dikatakan bahwa Ker adalah makhluk yang haus darah
dan secara kejam merobek jiwa dari tubuh yang sekarat lalu mengirimnya ke dunia
bawah. Ribuan Ker berterbangan di atas area pertempuran, dan jika ada manusia
yang mati, maka para Ker akan saling berebut seperti burung pemakan bangkai. Dan
bagian yang menurutku paling menarik adalah bahwa Ker sebenarnya tidak berkuasa
atas hidup dan mati manusia tetapi sifat haus darah mereka menjadikan para Ker
berusaha membuat orang-orang mati. Zeus dan dewa-dewa lainnya bisa menghentikan
atau mempercepat para Ker. Dan Para dewa Olimpus sering berdiri di dekat
pasukan yang mereka dukung untuk mencegah datangnya para Ker pada pasukan mereka.
Aku bersyukur karena
wajahku tidak mirip dengan dewa kematian yang namanya mirip denganku itu. Kalian
tahu? Wajahnya benar-benar buruk rupa, hidungnya seperti paruh burung yang
panjang, bengkok dan lancip di bagian ujungnya. Di punggungnya terdapat dua
sayap dan seluruh kaki dan tangannya dipenuhi sisik yang nampak menjijikkan.
Aku tak pernah mengerti mengapa Ayahku memberi nama, dengan nama dewa
mengerikan itu hingga suatu hari, aku melakukan hal buruk yang tak akan di
lupakannya seumur hidup, sekaligus membuatku mengerti mengapa ayahku memberiku
nama “Ker”.
***
Pagi itu entah dengan
alasan apa, ayahku mengajari putra satu-satunya
ini dengan pelajaran yang harusnya tidak di berikan oleh anak umur 5
tahun sepertiku. Dia memberiku pistol semi otomatis walther-P99, yang tak
beberapa lama kemudian, aku tahu bahwa jenis pistol itu adalah termasuk 10
besar pistol terbaik di dunia. Aku memegangnya dengan takut, benda itu begitu
berat dan besar di tangan mungilku. Ayahku bilang bahwa aku adalah satu-satunya
penerusnya dan mau tak mau aku harus terbiasa memegang benda berbahaya itu.
Pada saat itu aku tak mengerti, apa hubungannya antara aku yang penerusnya dan
“terbiasa dengan pistol?”, bukannya aku tinggal duduk di belakang kursi penuh
dokumen berisi nama-nama, untuk menjadi penerusnya?
“Aku
akan mencontohkanmu satu kali, dan kau harus melakukan seperti apa yang
kulakukan.” Ayah mengarahkan pistol itu pada boneka tedy bear kesayanganku yang
diletakkan di atas drum minyak. Aku melihat ayahku menarik pelatuknya dan
pistol itu memuntahkan bunyi desingan yang membuatku menutup mata dan menutup
telinga dengan kedua tangan mungilku. Peristiwa selanjutnya yang kuingat adalah
ayahku memaksaku menembak dengan cara yang sama, di tengah isak tangisku yang
pecah karena beruang tedy bear kesayanganku sekarang hanya mempunyai satu mata, beruang tedy bear malangku
itu sekarang cacat oleh tembakan ayahku.
“Jangan
menangis seperti perempuan ! Tak seharusnya kau menyayangi apapun !“ Itulah
kata terakhir ayahku, sebelum aku terpaksa mengangkat pistol, mengarahkan pada
balon warna merah yang di gantungkan di atas pohon. Mataku masih kabur dengan
air mata yang tak bisa berhenti. Aku menarik pelatuknya sambil memejamkan mata.
Selanjutnya adalah peristiwa-peristiwa mengerikan. Aku hanya bisa mengingatnya
seperti slide-slide yang berkeliaran di pikiranku. Slide pertama aku
terjengkang karena tak kuat menahan tekanan pistol itu. Slide kedua aku melihat
pistol itu terlepas dan membumbung ke langit. Slide ketiga aku melihat
orang-orang termasuk ayahku mengerumuni seseorang. Slide keempat aku melihat
ayahku yang beruraian air mata pergi dengan membopong mamaku yang dadanya
berlumuran darah. Slide terakhir adalah slide yang paling mengerikan kerena
melihat diriku sendiri mengatakan
“Jangan menangis
seperti perempuan ! Tak seharusnya kau menyayangi apapun !“ kata-kataku itu,
tentu saja ku tunjukkan pada ayahku, walaupun pada saat itu sebenarnya aku juga
sangat sedih karena kehilangan Mamaku, setidaknya aku bisa memberi pelajaran
ayahku bahwa kata itu adalah kata yang paling menyakitkan dan kata yang tidak tepat untuk diucapkan
pada orang baru saja kehilangan sesuatu
yang dia sayangi.
***
Saat ini umurku 10
tahun, dan seperti kata ayah dulu, aku adalah satu-satunya penerus ayahku.
Penerus ayahku untuk menjadi “Bounty
Hunter”, orang-orang yang dibayar untuk membunuh orang lain. Sekarang aku
begitu mahir memegang senjata jenis apapun, senjata apapun yang bisa dipakai
untuk membunuh orang, dan tentunya tanpa salah sasaran. Alih-alih trauma
memegang pistol ketika aku menyadari bahwa tembakanku membuat mamaku terbunuh,
aku justru ketagihan dan tergila-gila untuk membunuh orang dengan tembakanku,
yaa…aku tahu bahwa tidak sedikit orang yang menyebutku kelainan jiwa karena di
tengah acara pemakam mamaku, bukannya menangis, aku justru sibuk membersihkan
pistolku, tapi apa peduliku dengan acara pemakaman itu? Menangis tak akan
membuat mamaku hidup kembali seperti tak akan membuat teddy bearku mempunyai
mata lagi bukan?
Bersamaan
dengan berakhirnya hidup mamaku, berakhir pula hubungan hangatku dengan ayahku.
Aku tak ingat kapan terakhir kalinya ayahku memelukku, menepuk pundakku dan
memanggil dengan sebutan “nak”, ia juga berhenti berbicara padaku, sampai aku
lupa bagaimana suaranya. Ayahku selalu menitipkan pesan pada anak buahnya untuk disampaikan padaku. Dia bahkan diam
saja ketika teman-temannya memuji kemampuan menembakku. Caranya memandangku
berbeda ketika ia memandang anak buahnya, aku tak mengerti arti tatapannya
padaku sampai aku melihat dengan mata kepalaku sendiri ketika ayahku menembak
Pak Maher, musuh terberat ayahku. Ya…cara dia menatapku sama dengan caranya
menatap musuh terbesarnya, walaupun Pak Yan kolega ayahku, berkali-kali mengatakan
bahwa aku terlalu berlebihan, dan meyakinkanku bahwa itu hanyalah perasaan bersalahku
karena membunuh mamaku. Aku selalu ingin menanyakan kenapa ia melakukan itu
padaku ketika ayahku berpapasan denganku, sungguh…aku benar-benar ingin tahu
alasannya, tapi mulutku selalu terkunci ketika dia menatapku dengan tatapan
muak itu.
***
Selama
10 tahun hidupku aku sudah membunuh lebih dari 20 orang termasuk mamaku, aku
bahkan berada diurutan teratas sniper terhebat yang dimiliki ayahku. Aku masih
ingat, mangsa pertamaku adalah imigran gelap yang bekerja menjadi bandar kokain
yang bersembunyi di pabrik rokok yang telah ditinggalkan pemiliknya karena
bangkrut. Wajah polosku mungkin membuat orang itu mengira bahwa aku hanyalah
salah satu anak-anak penangkap belalang yang sering berkeliaran di sekitar
pabrik itu, bandar itu dengan bodohnya memberiku permen karet yang diambil dari
kantung celananya, dan menyuruhku cepat pergi. Tentu saja aku menerimanya
dengan senang hati, anak kecil mana yang tak suka permen karet? Sebelum aku
pergi, aku bahkan mengucapkan terimakasih padanya, dan dengan senyum licik aku menembak tepat di
kepalanya. Dan setelah itu aku mendapatkan 600 juta untuk tambahan uang sakuku.
Sejak
saat itu, aku begitu laris, setidaknya minimal aku membunuh 2 orang dalam satu
minggu. Bisnis gelap ayahku ini, memang sudah begitu professional dan terkenal,
gangster manapun akan berkeringat jika mendengar nama ayahku. Perjanjian dibisnis
kami adalah kami tidak akan memihak pada organisasi manapun, asalkan mereka
memberikan bayaran lebih 1 milyar kami akan membunuhnya. Aku bahkan pernah
membunuh orang yang baru saja membayarku untuk membunuh orang lain atas
perintah keluarga musuhnya yang dendam, jadi aku dengan tenangnya membunuh
orang yang ia perintahkan untuk dibunuh lalu satu jam kemudian aku
menghampirinya untuk mencabut nyawanya. Tapi ketika aku membunuh aku mengajukan
syarat, aku menolak membunuh wanita yang mempunyai anak untuk alasan apapun dan
untuk bayaran berapapun. Kasihan tentu saja bukan alasanku, aku hanya tidak
suka ada anak-anak yang kisah hidupnya sama denganku, aku benci mempunyai
saingan. Membunuh memang sudah seperti candu buatku, aku seperti sakau jika tak
ada mangsa yang harus ku bunuh, dan secara membabi buta aku akan membunuh 2
atau 3 orang bawahan ayahku sebagai gantinya.
***
Mei 2013, aku membaca
nama-nama orang yang akan menjadi tarjet selanjutnya, nama itu adalah nama yang
dikirim ayahku yang sekarang sedang melakukan sandiwara sebagai “penjahat
terkejam” yang di berhasil di tangkap dan di penjara untuk menaikkan citra
pemerintah dimata masyarakat, setelah 1 bulan yang lalu citranya anjlok karena
kasus korupsi yang dilakukan kubunya. Ayahku dibayar 6 trilyun untuk melepas 6
bulan kebebasannya dengan pura-pura dipenjara, walaupun sebenarnya penjara itu
lebih mirip hotel bintang 5 dari pada penjara. 6 bulan kemudian dia akan
pura-pura di eksekusi mati. dan ayahku bisa bebas dan kembali ke istananya.
5 bulan 28 hari setelah
ayahku di penjara, ayahku sudah mengirimkan 58 nama untuk dibunuh, sebagian besar
aku bunuh sebagian lagi aku serahkan pada anak buah ayahku, jika nama yang akan
dibunuh adalah orang-orang membosankan, yang akan mati dengan cepat. Anak buah
ayahku sering bertanya padaku mengapa aku begitu bersemangat untuk membunuh
orang. Pertama kali diajukan pertanyaan seperti itu, sebenarnya aku juga tak
tau apa jawabannya, tapi aku begitu puas ketika orang-orang yang akan kubunuh
meremehkanku ketika mereka melihatku, aku puas cara mereka terkejut mendengar
namaku, aku puas ketika mereka ketakukan melihat moncong pistol yang kuarahkan
pada mereka, aku puas ketika mendengar bunyi ”bruk” yang mengiringi jatuhnya
badan mereka ke lantai. Aku benar-benar puas ketika darah mereka mengalir
mengotori lantai-lantai marmer rumahnya sendiri.
“Aku
ingin kau membunuh orang ini dengan tanganmu sendiri sebelum aku bebas, aku
akan mengirim namanya besok. Orang ini berbahaya” begitu bunyi pesan dari
ayahku. Aku penasaran, sebelumnya ayahku sama sekali tak pernah mendekteku
tentang siapa yang akan kubunuh, biasanya dia hanya memberikan nama dan aku
yang akan menentukan siapa yang akan membunuh. Seberapa bahaya orang itu? Apakah
orang itu gangster impor yang sudah 5 tahun menjadi incaran ayahku?
Aku membacanya
kemudian, dahiku berkerut, aku yakin aku bukanlah orang yang buta huruf, aku sudah
bisa membaca sejak usiaku 3 tahun. Tapi aku berharap aku salah membaca dan
menemukan nama orang lain selain nama itu untuk tarjet terakhir ayahku sebelum
dirinya bebas. Aku berharap ayahku mengatakan “Juni Mop”_ walaupun
kedengarannya aneh_,sebagai tanda bahwa dia mengerjaiku, tapi 2 jam berlalu
sepertinya ayahku benar-benar berniat untuk melihat kolega terbaiknya itu mati.
Adakah hal yang lebih tidak masuk akal dari pada seorang ayah yang menyuruh
anaknya untuk bunuh diri? Ya namaku terpampang disana dengan jelas, “KER”
begitu ayahku menulis namaku, dengan huruf besar yang seolah menandai besar
dendamnya padaku. Tapi kenapa?
“KAU
PIKIR AKU TAK BERANI MELAWANMU !”Aku berteriak, aku bisa mendengar suaraku
menggema di ruangan luas yang pengap, aku sudah tak tahan lagi, kemarahan sudah
naik diatas kepalaku, jika orang itu tidak mengangapku anaknya, aku juga bisa
tak menganggapnya sebagai ayahku. Aku meraih pistol di laciku, mecobanya dengan
menembakkannya di monitor yang menampilkan namaku.
“Kau
akan mati seperti monitor itu.” Aku tersenyum, senyum ragu antara kemarahan dan
ketakutan. Satu jam kemudian aku mendapati diriku berada di dalam
“penjaraan-penjaraan” ayahku. Berdiri tepat di depannya yang sedang menikmati
kopi dan sepiring kue brownis, dengan pistol ditangan. Yang menyebalkan adalah
ayahku tak mengubah sedikitpun ekpresi datarnya ketika melihatku, aku berani
taruhan, pasti dia mendapatkan nilai F dalam pelajaran drama bahasa indonesia.
“Kau
datang?” Katanya, tanpa menggeser matanya dari koran dengan halaman depan yang
memberitahukan bahwa dia akan di eksekusi mati besok. Serius…dia manusia yang
paling kurang ajar.
“AKU
AKAN MEMBUNUHMU !” kataku menjawab pertanyaannya, tapi aku benci suara bergetar
ketika aku mengatakan kata-kata itu. Aku benci ketika keringat bermunculan di
telapak tangan dan keningku. Berita gembiranya adalah dia akhirnya menatapku
walaupun masih dengan tatapan “menghadapi musuh besarnya.” Dan berita buruknya
lagi, kakiku bergetar seketika itu. Apakah aku takut? Aku bahkan tak percaya
pada diriku sendiri bahwa aku takut, aku tak pernah merasakan takut sebelumnya,
tapi aku lega mendapati ayahku tak memegang pistol jenis apapun di tangannya. Aku
mengarahkan pistolku ke matanya agar dia mati seperti tedy bearku. Aku berharap
dia berlutut padaku, menangis dan meminta maaf atas perlakuannya selama ini
padaku dan memohon agar aku tak menembaknya atau mencegahku dan berkata bahwa
aku durhaka karena telah secara kurang ajar berniat membunuh orang yang secara
kebetulan dipilih Tuhan untuk menjadi ayahku, sehingga aku bisa memintanya
untuk bertobat dan memulai hidup baru untuk menjadi ayah yang baik untuk,
memintanya untuk setidaknya sekali saja dalam hidupku memperlihatkan senyumnya.
Tapi percaya atau tidak, aku harus menelan kekecewaan karena dia sama sekali
tak melakukan hal itu, dia justru memejamkan mata, wajahnya menunjukkan ketidak
sabaran untuk merasakan peluruku menerobos rongga matanya.
Sepertinya aku gila,
aku tertawa terbahak-bahak. “SIAL ! Apa begitu konyolnya cara orang yang paling
di takuti di Negara ini mati? Mati ditangan anaknya?!” aku tertawa lagi. Sedetik
kemudian aku diam. Aku menarik nafas dalam mengatakan “Selamat tinggal ayah” dalam
hati sebelum aku menarik pelatuknya. Aku bisa melihat peluru itu meluncur
dengan gerakan slow motion dimataku, lalu menembus daging seseorang dengan
mudahnya.
“Brukk !!!” suara
kesukaanku itu akhirnya terdengar, suara itu menggambarkan kemenangan
seseorang, dan selanjutnya tentu saja akan segera terlihat warna merah
menggenangi lantai penjara yang putih. Aku bisa melihat senyum menyeringai itu,
senyum yang menggambarkan kepuasan, seperti senyum yang aku perlihatkan setelah
membunuh seseorang.
“Hei!
seharusnya itu senyum milikku!” aku ingin berteriak, tapi aku tak sanggup. Aku mulai
kesulitan mengambil nafasku dengan pisau pembelah roti menancap di dadaku. Detik-detik
terakhir itu, berupa potongan-potongan slide lagi. Slide pertama ayahku
mendekatiku, Slide ke dua dia membungkuk di depan tubuhku yang tergeletak berlumuran
darah di lantai dengan seringai meremehkannya. Slide ketiga dia mengatakan “
Itu balasan atas kematian mamamu nak” _dengan nada datarnya, tentu saja_, Slide
keempat dia meninggalkanku sendirian, aku sempat melirik dinding yang berlubang
karena peluruku, tanda bahwa ayahku
menghindari tembakanku untuk melemparkan pisau kue ke dadaku, Slide ke lima aku
menemui diriku sendiri tersenyum puas karena pertanyaan yang menghantui tentang
“mengapa ayahku membenciku” terjawab. Slide keenam aku melihat dewa buruk rupa
yang namanya persis sama sepertiku tersenyum padaku. Slide terakhir gelap…
0 komentar:
Posting Komentar