“Kalau
kata ‘Hampir’ gimana nulisnya? Hurufnya apa aja hayoo?” Ia memutar bola matanya
ke kiri, seperti berusaha mengingat semua huruf yang dihafalnya.
“H?”
Dia bertanya, aku menggeleng sambil mengedikkan bahu, pura-pura tak tahu. Dia
menuliskan huruf ‘h’ di kertas dengan
ragu-ragu. huruf ‘h’ itu kemudian diiukuti dengan huruf ‘m, p,i dan r’. Ia
melihatku setelah menulis deretan huruf itu, tanda bahwa ia telah menyelesaikan
tulisannya. Aku melihat tulisan “hmpir” yang dibuatnya. “Hayoo ada satu huruf lagi
yang ketinggalan, huruf apa yang kurang?” Tanyaku kemudian. Dahinya mengernyit,
ia melihat tulisannya lagi “Sudah bener lho mbak”, katanya yakin sambil
menunjuk tulisannya.
“Masih
kurang…ayo huruf apa yang kurang.”
“Sudah
benar” Katanya lagi.
“Hampir
itu ‘ham’ sama ‘pir’ biar bisa dibaca ‘ham’ perlu huruf apa aja? ayo coba di
eja” jelasku berusaha membenarkan tulisannya.
“H…”
Ia menjawab, lagi lagi dengan ragu-ragu. “Trus?” tanyaku. “M…” Lanjutnya.
“Hmmm”
Aku menggeleng “Bukan, biar bisa dibaca ‘hi’ harus ada huruf ‘h sama I’ biar
bisa dibaca ‘ho’ harus ada huruf ‘h dan o’ kalok biar bisa dibaca ‘ha?’ harus
ada huruf apa aja?” aku bertanya lagi.
“Lha
iya mbak..ina kan ‘h’ “ Katanya bersi keras sambil menunjuk huruf ‘h’ yang tadi
di tulisnya.
Aku
terdiam, sambil membenarkan dalam hati “iya sih, itu bacanya h.” Memahami
sepenuhnya kenapa ia bersi keras mengaakan bahwa tulisannya sudah benar.
pikirannya yang sederhana, yang menganggap tulisan “hmpirnya” sudah
berbunyi “hampir” karena huruf ‘h’ tanpa
huruf vocal ‘a’ pun sudah berbunyi “ha”, aku kehabisan kata-kata untuk
menjelaskannya, tepatnya aku tak tahu
bagaimana keharusan itu dibuat sehingga aku memutuskan memberitahunya
saja tanpa penjelasan panjang lebar seperti tadi.
“Hampir” itu hurufnya “h, a, m, p, i, r”
berarti itu kurang huruf apa? “ Tanyaku, “A” katanya sambil merubah tulisannya,
menuruti apa yang aku ucapkan tanpa pemahaman. terlihat dari wajahnya. Mungkin
dipikirannya yang sederhana ada berjuta pertanyaan kenapa harus menambahi huruf
‘a’ setelah huruf ‘h’ sedangkan bunyi huruf ‘h’ sendiri adalah “ha”, mungkin
baginya itu adalah pemborosan kata, dan buang-buang tenaga.
Ditengah
usaha anak itu membetulkan tulisannya, aku mengutuki diriku sendiri kenapa aku
tak bisa menemukan kata-kata sederhana yang bisa memahamkannya, aku kehilangan
kata-kata sederhana dan jujur yang selalu kuucapkan ketika waktu kecil.
Kata-kata sederhana dan jujur yang selalu kuucapkan sebelum aku terkotori oleh
kata-kata penuh maksud-maksud dan topeng-topeng yang biasa di gunakan oleh
orang dewasa. Entah maksud membuat agar orang tak tersinggung, maksud tak enak
mengatakannya, maksud membuat orang lain senang dan maksud-maksud yang jauh
dari kata hatiku. Ah…sepertinya bukan itu saja, tepatnya aku benar-benar tak
tahu kenapa keharusan menambah huruf “a” setelah huruf “h” ataupun huruf “e”
setelah “d” untuk menulis kata “hampir dan depan” terbentuk.
Pengetahuanku
disepanjang aku menempuh pendidikan sampai detik ini, benar-benar tak bisa
diandalkan membuatku menemukan jawaban dari pertanyaan sederhana itu. Aku tahu
ini sebagian besar karena kebodohanku dalam menangkap pelajaran dan kebodohanku
dalam menjelaskan karena ketika kemarin aku pulang, ibuku yang telah
berpengalaman menjadi tenaga pendidik dan pengajar bertahun-tahun itu
mengatakan bahwa mungkin saja penjelasan kita yang harus diganti, karena
anak-anak tidak menangkapnya, bukan karena anaknya yang tidak paham. Itu sangat
mungkin terjadi, atau mungkin aku harus mempelajari filsafat lebih mendalam.
Atau mungkin memang itu bentuk dari otak
kita yang selalu disetting untuk mengikuti yang “biasanya” dan “seharusnya”
tanpa ingin dan mau mempertanyakan lagi apakah yang biasanya dan menjadi
keharusan kita adalah suatu hal yang masuk akal untuk di kerjakan, karena
menjadi “biasa dan harus” yang disebut sebagai suatu yang “normal” menjadi
posisi yang nyaman. Banyak orang yang mati-matian menjadi normal, walaupun hal
normal adalah hal yang tak masuk akal. Sepanjang perjalananku bersama Transjogja,
tiba-tiba rentetan kata-kata di plang-plang iklan pinggir jalan yang biasanya
aku baca, bahkan rentetan paragfraf di koran menjadi tak masuk akal juga.
0 komentar:
Posting Komentar