Senin, 10 November 2014

"Kebodohanku"

“Kalau kata ‘Hampir’ gimana nulisnya? Hurufnya apa aja hayoo?” Ia memutar bola matanya ke kiri, seperti berusaha mengingat semua huruf yang dihafalnya.
“H?” Dia bertanya, aku menggeleng sambil mengedikkan bahu, pura-pura tak tahu. Dia menuliskan huruf  ‘h’ di kertas dengan ragu-ragu. huruf ‘h’ itu kemudian diiukuti dengan huruf ‘m, p,i dan r’. Ia melihatku setelah menulis deretan huruf itu, tanda bahwa ia telah menyelesaikan tulisannya. Aku melihat tulisan “hmpir” yang dibuatnya. “Hayoo ada satu huruf lagi yang ketinggalan, huruf apa yang kurang?” Tanyaku kemudian. Dahinya mengernyit, ia melihat tulisannya lagi “Sudah bener lho mbak”, katanya yakin sambil menunjuk tulisannya.
“Masih kurang…ayo huruf apa yang kurang.”
“Sudah benar” Katanya lagi.
“Hampir itu ‘ham’ sama ‘pir’ biar bisa dibaca ‘ham’ perlu huruf apa aja? ayo coba di eja” jelasku berusaha membenarkan tulisannya.
“H…” Ia menjawab, lagi lagi dengan ragu-ragu. “Trus?” tanyaku. “M…” Lanjutnya.
“Hmmm” Aku menggeleng “Bukan, biar bisa dibaca ‘hi’ harus ada huruf ‘h sama I’ biar bisa dibaca ‘ho’ harus ada huruf ‘h dan o’ kalok biar bisa dibaca ‘ha?’ harus ada huruf apa aja?” aku bertanya lagi.
“Lha iya mbak..ina kan ‘h’ “ Katanya bersi keras sambil menunjuk huruf ‘h’ yang tadi di tulisnya.
Aku terdiam, sambil membenarkan dalam hati “iya sih, itu bacanya h.” Memahami sepenuhnya kenapa ia bersi keras mengaakan bahwa tulisannya sudah benar. pikirannya yang sederhana, yang menganggap tulisan “hmpirnya” sudah berbunyi  “hampir” karena huruf ‘h’ tanpa huruf vocal ‘a’ pun sudah berbunyi “ha”, aku kehabisan kata-kata untuk menjelaskannya, tepatnya aku tak tahu  bagaimana keharusan itu dibuat sehingga aku memutuskan memberitahunya saja tanpa penjelasan panjang lebar seperti tadi.
 “Hampir” itu hurufnya “h, a, m, p, i, r” berarti itu kurang huruf apa? “ Tanyaku, “A” katanya sambil merubah tulisannya, menuruti apa yang aku ucapkan tanpa pemahaman. terlihat dari wajahnya. Mungkin dipikirannya yang sederhana ada berjuta pertanyaan kenapa harus menambahi huruf ‘a’ setelah huruf ‘h’ sedangkan bunyi huruf ‘h’ sendiri adalah “ha”, mungkin baginya itu adalah pemborosan kata, dan buang-buang tenaga.
Ditengah usaha anak itu membetulkan tulisannya, aku mengutuki diriku sendiri kenapa aku tak bisa menemukan kata-kata sederhana yang bisa memahamkannya, aku kehilangan kata-kata sederhana dan jujur yang selalu kuucapkan ketika waktu kecil. Kata-kata sederhana dan jujur yang selalu kuucapkan sebelum aku terkotori oleh kata-kata penuh maksud-maksud dan topeng-topeng yang biasa di gunakan oleh orang dewasa. Entah maksud membuat agar orang tak tersinggung, maksud tak enak mengatakannya, maksud membuat orang lain senang dan maksud-maksud yang jauh dari kata hatiku. Ah…sepertinya bukan itu saja, tepatnya aku benar-benar tak tahu kenapa keharusan menambah huruf “a” setelah huruf “h” ataupun huruf “e” setelah “d” untuk menulis kata “hampir dan depan” terbentuk.

Pengetahuanku disepanjang aku menempuh pendidikan sampai detik ini, benar-benar tak bisa diandalkan membuatku menemukan jawaban dari pertanyaan sederhana itu. Aku tahu ini sebagian besar karena kebodohanku dalam menangkap pelajaran dan kebodohanku dalam menjelaskan karena ketika kemarin aku pulang, ibuku yang telah berpengalaman menjadi tenaga pendidik dan pengajar bertahun-tahun itu mengatakan bahwa mungkin saja penjelasan kita yang harus diganti, karena anak-anak tidak menangkapnya, bukan karena anaknya yang tidak paham. Itu sangat mungkin terjadi, atau mungkin aku harus mempelajari filsafat lebih mendalam. Atau  mungkin memang itu bentuk dari otak kita yang selalu disetting untuk mengikuti yang “biasanya” dan “seharusnya” tanpa ingin dan mau mempertanyakan lagi apakah yang biasanya dan menjadi keharusan kita adalah suatu hal yang masuk akal untuk di kerjakan, karena menjadi “biasa dan harus” yang disebut sebagai suatu yang “normal” menjadi posisi yang nyaman. Banyak orang yang mati-matian menjadi normal, walaupun hal normal adalah hal yang tak masuk akal. Sepanjang perjalananku bersama Transjogja, tiba-tiba rentetan kata-kata di plang-plang iklan pinggir jalan yang biasanya aku baca, bahkan rentetan paragfraf di koran menjadi tak masuk akal juga.

0 komentar:

Posting Komentar