Oleh : Farida Hardaningrum
Hari ini saya mendapat pengalaman yang
sangat mengesankan…
Mengikuti acara Penganugerahan
Pendamping terbaik bagi para mahasiswa di Surabaya yang telah sukses membina
adik-adik asuh untuk kembali bersekolah. Acara berlangsung meriah, anak-anak
jalanan yang telah berubah menjadi pelajar tampil di panggung. Prestasi mereka
beragam, ada yang juara menyanyi, berprestasi di sekolah, hingga meraih medali
perak tingkat nasional untuk balap sepeda.
Walikota Surabaya (Ibu Tri Risma
Harini) tidak canggung menyebut mereka sebagai “Anak-anak Saya”.
Tapi bukan itu yang membuat saya dan
belasan orang mengharu biru… Ketika acara telah berakhir, dan Walikota beserta
rombongan telah meninggalkan tempat acara, yaitu Liponsos/Lingkungan Pondok
Sosial Kalijudan yang menampung anak berkebutuhan khusus…
Tiba-tiba dari dalam gedung pertemuan
terdengar seorang anak menangis meraung-raung, menyebut ibunya… Cukup lama dia
menangis sehingga banyak yang datang padanya, termasuk saya. Ternyata ia adalah
seorang anak tuna grahita berusia sekitar 15 tahun. Pada acara pembukaan tadi
saya lihat si Umay (nama anak itu) sangat asyik berjoget gembira…
Tangisnya makin menggema.. sambil terus
memanggil-manggil.. di mana Ibuku… di mana Ibuku….Ada apa gerangan?? Menurut
penjelasan pengurus Pondok, ternyata Umay kehilangan “Ibunya” yang tak lain
adalah Walikota Surabaya, Tri Risma Harini… Rupanya, saat bu Risma pulang, dia
tengah berada di kamar mandi… Istilah Jawa-nya adalah “kelayu”…
Tak seorang pun bisa mendiamkan Umay,
sehingga pimpinan Pondok berinisiatif menelpon seseorang. Saya dengar beliau
melaporkan bahwa Umay tidak bisa berhenti menangis. Ternyata yang ditelpon
adalah bu Risma!
Saya cuma berpikir… Ah, mungkin itu
hanya bersifat laporan… mana mungkin seorang walikota mau kembali hanya untuk
menenangkan anak tuna grahita…?
Tapi sekitar 5 menit kemudian….
Subhanallah…. Masuklah sebuah mobil Innova hitam yang tadi dikendarai bu
Walikota ke dalam halaman Liponsos..dan bu Risma pun turun…
Orang-orang segera memanggil Umay, dan
berbaurlah bocah itu ke pelukan “Ibunya”….
Bagaikan sikap seorang Ibu kepada anaknya,
bu Walikota mendekap dan bertanya, kenapa tadi Umay tidak ikut mengantar?
Terlihat si Umay begitu manja dan tak mau lepas dari pelukan “Ibunya” itu…
sehingga bu Risma harus mengatakan “Ibu harus mencari uang untuk makan kamu…
supaya kamu bisa belajar joget dan menyanyi…” Akhirnya Umay pun mau melepaskan
pelukan, disertai senyuman….
Sungguh… sebuah kejadian yang sangat
jauh dari rekayasa, apalagi pencitraan…
0 komentar:
Posting Komentar