Menurut KBBI kata ‘Kiai’ ada beberapa arti yaitu sebutan bagi alim ulama (cerdik pandai dl agama Islam). dari pengertian tersebut sudah dapat diketahui kenapa orang-orang sangat mengagungkan kiai, terutama orang-orang yang tinggal di daerah pedesaan, dimana sebagian mata pencahariannya bertani.
Saya masih mengalami saat, dimana orang-orang rajin sekali sowan ke tempat kiai. Untuk apa? untuk mengadukan permasalahan mereka, dari masalah ekonomi, masalah politik, masalah syariat, masalah keluarga sampai ke urusan masalah yang sebenarnya sepele dan bisa diputuskan sendiri. Tapi kecintaan_kalau boleh dibilang lebih mengarah ke fanatik_kepada kiai, membuat mereka merasa tidak afdhol jika tidak di diskusikan dulu ke kiai. Bahkan untuk urusan membeli motorpun, mereka sowankan ke kiai. Hal tersebut yang membuat kediaman para kiai tidak pernah sepi. Baik kiai yang mempunyai pondok, ataupun kiai yang tidak mendirikan pondok. Entah siapa yang memulai duluan tradisi semacam itu.
Kiai, terutama kiai kampung. Menurut orang orang awam memanglah seperti semacam ‘Mbah Google’ berjalan tanpa koneksi internet di jaman sekarang. Tempat pemecahan masalah berbagai macam persoalan. Para kiai itupun, menempatkan diri sebagai ‘pelayan’ dan “pengabdi’ masyarakat. Sehingga menerima kedatangan ‘para pengadu masalah’ tanpa pandang bulu. Mereka tak pernah memperlakukan istimewa tamunya yang berasal dari kalangan orang kaya atau pejabat, dan tidak pernah merendahkan tamunya yang berasal dari kalangan bawah. Semua orang beliau layani dengan tangan terbuka dan senang hati, tanpa memandang status sosial, status hubungan, status umur, status agama bahkan status facebook.
Kiai Syahid yang dijuluki ‘Kiai alhamdulilah’ contohnya, setiap hari rumahnya diserbu tamu dari berbagai kalangan. Tak peduli kebangsaannya, tak peduli keyakinannya, tak peduli ideologi politiknya, tak peduli status sosialnya, tak peduli jenis kelaminnya, siapa saja boleh datang dan beliau terima dengan ‘Alhamdulliah’ (terhitung mulai Mbak Tutut, Suryadi, Gus Dur, Mbak Mega, Martin, Van Bruinessen, Almarhum Arifien C Noor, Dedi Mizwar, Neno Warisman hingga Engkoh Ong, agen bus malam). Syaratnya satu, kecuali yang sedang puasa di siang hari, setiap tamu harus makan di tempat beliau. Meski suguhannya ala kadarnya, tetapi sikap beliau selalu membuat hidangan yang disuguhkan dirasa nikmat oleh tamu-tamunya. Meskipun ada tamunya yang tidak tahu diri, datang tanpa mempertimbangkan waktu (Pernah ada tamu rombongan dua bus tengah malam) beliau tetap menerimanya dengan ‘alhamdulliah!’(Bisri, 2003)
Untuk itu tak sedikit orang yang rela mengorbankan hartanya, bahkan nyawanya untuk kiai yang sangat dihormatinya itu. Ingat adanya peristiwa dari kalangan NU yang menamakan dirinya “Gerakan Berani Mati” untuk membela Gus Dur. Dan Gus Dur akhirnya dengan memakai celana pendek, keluar dari istana untuk dengan kerelaannya melepas jabatan presidennya. Hanya karena tidak mau umatnya mengalami pepercahan? Ya ‘hidup mati manut pak kiai’. Mngkin itu moto dari orang-orang yang sangat mencintai para kiai.
Tidak banyak sedikit orang yang mencibir, atau ilfil terhadap orang yang mencintai para kiai. Mereka menganggap hal tersebut terlalu lebay. Mereka mungkin geram, ketika mereka bertanya sesuatu kepada orang ‘para pecinta kiai’ itu selalu dijawab dengan awalan “Kalau kata pak Kiai, atau menurut pak Kiai enggak boleh, atau kata pak Kiai harusnya begitu.“ Dan disertai dengan ngotot. Tapi ketika mereka ditanya tentang dasar-dasarnya? Hadist terutama, mereka plonga-plongo. Kemudian berusaha ngotot lagi dengan berkata “Yo pokoke jare pak Kiai ngono” .Kemudian orang yang bukan masuk golongan ‘para pecinta kiai’ atau netral saja bertanya-tanya “Sama-sama manusianya, kenapa sih diperlakukan kayak raja?” atau “Apa-apa manut kiai, memang kalau mereka suruh njebur ke jurang, mereka manut saja?”. Jawabannya ‘YA’ tentu saja mereka akan melakukannya, dengan senang hati malah. Pokoknya kalau itu sudah kata kiai, mereka secepat kilat akan melakukannya.
Kenapa mereka sebegitunya pada para kiai? Apakah manut Kiai merupakan hal yang salah? atau hal yang benar? Mari kita tegaskan dari awal, Kiai adalah sebutan bagi alim ulama (cerdik pandai dl agama Islam). Benarkah yang disebut para kiai oleh masyarakat adalah orang semacam itu? Dulu iya. Kenapa saya katakan dulu? Karena sepertinya ‘Kiai’ atau ‘Ustadz’ yang sekarang adalah julukan yang sangat mudah disematkan pada orang. Kalau boleh saya bicara kasar, label itu sudah tidak Ori lagi, dan sudah pada tahap label KW yang sudah kesekian puluh. Padahal jaman dulu, orang-orang yang mempunyai kemampuan yang jauh diatas mumpuni untuk menjadi kiai pun, menolak dijuluki dengan sebutan itu. "Terlalu berat” Kata mereka dengan segala kerendahan hati. Para Kiai- yang beneran- tidak pernah menginginkan dirinya untuk dijuluki kiai, atau sengaja menjulukinya dirinya dan mengumumkan bahwa dia adalah kiai. Julukan itu berasal dari inisiatif masyarakat yang melihat perangainya, kedalaman ilmunya, ahklaknya, sehingga dengan ‘hormat’ menyematkan label ‘kiai’ pada orang itu. Sekali lagi saya tegaskan, yang saya sebut sebut kiai di dalam tulisan ini. Yang entah berapa banyak jumlahnya. Merupakan kiai yang sejatinya kiai. Bukan Kiai abal-abal. Jadi tolong dipahami dengan sungguh-sungguh. Jangan beda persepsi (eh...beda persepsi gak apa apa deng..lebih beda lebih seru, dan lebih pusing uga mikirnya)
‘Kiai’ bukanlah label asal-asalan pada orang yang sok mendalil Al-quran, atau hafal beberapa hadist. Lalu menasehati orang dengan kata arab-araban itu. Kiai zaman dulu, pendidikannya tak main-main. Begitu juga prestasinya. contoh saja kiai yang dijuluki “Hadratus syaich” Hasyim asyari. K.H. Hasjim Asy'ari pergi menimba ilmu ke Mekah, dan berguru pada Syekh Ahmad Khatib Minangkabau, Syekh Mahfudh at-Tarmisi, Syekh Ahmad Amin Al-Aththar, Syekh Ibrahim Arab, Syekh Said Yamani, Syekh Rahmaullah, Syekh Sholeh Bafadlal, Sayyid Abbas Maliki, Sayyid Alwi bin Ahmad As-Saqqaf, dan Sayyid Husein Al-Habsyi.
Di Makkah, awalnya K.H. Hasjim Asy'ari belajar dibawah bimgingan Syaikh Mafudz dari Termas (Pacitan) yang merupakan ulama dari Indonesiapertama yang mengajar Sahih Bukhori di Makkah. Syaikh Mafudz adalah ahli hadis dan hal ini sangat menarik minat belajar K.H. Hasjim Asy'ari sehingga sekembalinya ke Indonesia pesantren ia sangat terkenal dalam pengajaran ilmu hadis. Ia mendapatkan ijazah langsung dari Syaikh Mafudz untuk mengajar Sahih Bukhari, dimana Syaikh Mahfudz merupakan pewaris terakhir dari pertalian penerima (isnad) hadis dari 23 generasi penerima karya ini. Selain belajar hadis ia juga belajar tassawuf (sufi) dengan mendalami Tarekat Qadiriyah dan Naqsyabandiyah.
K.H. Hasjim Asy'ari juga mempelajari fiqih madzab Syafi'i di bawah asuhan Syaikh Ahmad Katib dari Minangkabau yang juga ahli dalam bidang astronomi (ilmu falak), matematika (ilmu hisab), dan aljabar. Di masa belajar pada Syaikh Ahmad Katib inilah K.H. Hasjim Asy'ari mempelajari Tafsir Al-manar karya monumental Muhammad Abduh. (Wikipedia)
Atau Mbah Maimun Zubair Sarang Rembang yang pada usia sekitar 17 tahun, beliau sudah hafal diluar kepala kiab Jurumiyyah, Imrithi, Alfiyyah Ibnu Malik, Matan Jauharotut Tauhid, Sullamul Munauroq serta Rohabiyyah fil Faroidl. Seiring pula dengan kepiawaiannya melahap kitab-kitab fiqh madzhab Asy-Syafi’I, semisal Fathul Qorib, Fathul Mu’in, Fathul Wahhab dan lain sebagainya. Pada tahun 1945 beliau memulai pengembaraannya ke Pondok Lirboyo Kediri, selama kurang lebih lima tahun, dibawah bimbingan KH. Abdul Karim (Mbah Manaf), KH. Mahrus Ali dan KH. Marzuqi. Menginjak usia 21 tahun, beliau meneruskan pengembaraanya ke Makkah Al-Mukarromah, selama kurang lebih 2 tahun berkutat dengan ilmu-ilmu agama didalam bimbingan Sayyid ‘Alawi bin Abbas Al-Maliki, Syaikh Al-Imam Hasan Al-Masysyath, Sayyid Amin Al-Quthbi, Syaikh Yasin bin Isa Al- Fadani dan masih banyak lagi.
Sekembalinya dari Tanah suci, beliau masih mengasah dan memperkaya pengetahuannya dengan belajar kepada ulama-ulama besar tanah Jawa saat itu. Seperti KH. Baidlowi lasem (mertua beliau), KH. Ma’shum lasem, KH. Ali Ma’shum Krapyak Jogjakarta, KH. Bisri Musthofa, Rembang, KH. Abdul Wahhab Hasbullah, KH. Mushlih Mranggen, KH. Abbas, Buntet Cirebon, Sayikh Ihsan, Jampes Kediri dan juga KH. Abul Fadhol, Senori. (Rozi, 2010)
Dari sekian pendidikan_pendidikan yang benar-benar pendidikan_ agama maupun formal yang ditempuh para kiai selama bertahun tahun dari orang hebat dan alim ulama tersebut. TIDAK PANTASKAH orang-orang menggantungkan pemecahan masalahnya pada para kiai, yang bahkan tidak hanya hafal, tapi paham Al-quran hadist sak anak-anakke , nahwu shorof sak anak-anakke, Kitab syariat Fiqih Baidjuri, Fathul Qorib sak anak-anakke. KItab ihya’ ulumudin dan kitab tasawuf lainnya sak anak-anakke. Tafsir jalalain, ibnu katsir sak anak-anakke. Hafal hadist dari mulai shoheh bukhori, ghozalisak anak-anakke ditambah ilmu yang paling dalam ilmu hakikat sak anak-anakke? Dari sekian banyak ilmu itu, bayangkan....dipahami oleh satu orang dan satu kepala beserta otaknya. Dan rata-rata mereka menempuh pendidikan pondok. Dimana perkara ‘makan’ pun, tindak tanduknya, ahklak makannya akan sangat diperhatikan oleh Kiainya, bahkan sampai urusan ‘boker’ sangat diperhatikan. Masih belum pantaskah pengetahuan mereka tersebut dijadikan patokan hidup sekaligus pedoman? _ini lepas dari kiai yang tidak sesuai dengan ciri-ciri di atas_. Masih wagu kah ketika ada orang dulu yang bilang, “urip mati melu pak kiai?’
Kalau masih ragu, mari kita ulas lagi. Pertanyaan yang sering terdengar dikalangan masyarakat yang tak paham soal ‘kiai’ an. dan seenak udelnya sendiri ceplas-ceplos mengatakan hal yang didasarkan pada otaknya sendiri dan tidak mengkomfrimasi fitnah dan gosip. Para kiai itu sebenernya uga tidak keberatan dan tidak peduli dengan apa yang dikatakan para orang-orang yang tidak paham, toh mereka lebih peduli dengan penilaian Tuhan. Malahan pengikutnya ini yang suka kebakaran jenggot kalau kiainya dihina. Kenapa? Karena mereka sepenuhnya sadar dan tahu bahwa kiainya tidak seperti itu. Mereka hidup disamping kiai bertahun-tahun, dan seperti kita tahu, selalu sowan. Sehingga paham betul bagaimana kebiasaan kiai.
Saya akui, orang-orang tersebut kelemahannya adalah ‘ngah-ngoh’ kalok ditanya masalah dalil yang mendasari. Contoh.. dalilnya kalau sunah puasa muharram tanggal 9 apa? mereka akan ‘ndlongap-ndlongop’ enggak tau. “Pokoknya kiai saya bilang begitu, dan melakukannya. jadi saya ya manut saja.” Atau permasahalan sosial, kalau mereka bilang perkara ini tidak boleh, ini boleh. Mereka kebanyakan akan ‘blong’ kalau ditanya masalah dalil. Karena mereka mengetahuinya dari kiai. Dan kiai bukannya TIDAK MAU, TIDAK BISA atau TIDAK SANGGUP, melafalkan dalilnya. Tapi masak iya..kiai yang bijaksana itu menyuruh para umatnya yang kebanyakan berprofesi sebagai petani, pedagang itu menghafalkan dalil yang bikin puyeng otak. Padahal berjubelnya masalah mereka saja sudah bikin mereka kalang kabut. Panenan dan dagangan turun harga saja..berhasil membuat mereka putus asa, masa iya pak kiai itu tega membebani mereka dengan menyuruh masyarakat yang bahkan tidak lulus SD itu memberi ‘mentahan’ dengan memberi berbagai macam dalil, dari berbagai macam madzhab, dari berbagai macam disiplin ilmu, kemudian menyuruh mereka untuk menyimpulkan sendiri. MASAK IYA?
Ya...apa yang disampaikan kiai, baik nasihat-nasihat atau sekedar obrolan itu, pasti sudah merupakan olahan, atau kalau makanan. Itu pasti sudah matang dan tinggal telan. Mereka pasti sudah menyederhanakan, mempertimbangkan dari berbagai macam disiplin ilmu yang mereka pahami. Karena tahu latar belakang pendidikan umat yang dibimbingnya akan kesulitan kalau permasalahan tersebut tidak disederhanakan sedimikan rupa, dan tidak diolah dengan bahasa yang mereka pahami. Makanya kebanyakan mereka tidak tahu dalilnya, karena paham menanyakan dalilnya, justru akan membuat kepala mereka pusing. Kalaupun ada yang menanyakan dalilnya, pasti pertanyaan tersebut datang dari kalangan yang sedikit intelek. Dan mereka sepenuhnya percaya pada ilmu yang berada kiai itu, sehingga mereka juga tidak bertanya. Karena selain percaya bahwa yang di ungkapkan kiai itu berasal dari kedalaman ilmunya, juga karena menurut sebagian masyarakat, bertanya itu dianggp sebagai sesuatu yang ‘saru’ dianggap ‘membantah’ atau ‘tidak sopan’. Padahal ya sebenarnya kalau bertanya, tidak akan dimarahi oleh kiainya. Kita memang “ELEK” perkoro dalil, apalan dalil. tapi kami tahu dari mana literaturnya. Kalau diminta kami bisa menyebutkan dari mana sanad ilmunya berasal. Jelentrek-jelentrek akan kami sebutkan dari guru kami sampai pada Nabi Muhammad. karena pada umumnya setelah menimba ilmu pada kiai (khususnya para santri) akan di sampaikan dari mana sanad keilmunya. Untuk dimaksudkan agar kita, mendoakan para orang yang telah membagi imu kita dengan mengiriminya alfatehah, sebagai rasa terimakasih, penghormatan dan sekaligus mencari keberkahan pada orang yang alim dan dekat dengan Tuhan.
Celakanya adalah, orang-orang sekarang, sudah mulai tidak percaya pada hanya sekedar ‘kata orang’. Apalagi orang tersebut adalah orang yang tak begitu mereka kenal, seperti ‘Kiai’. Karena pada umumnya mereka juga tidak hidup dikalangan orang yang tahu Kiai. Karena memang sudah makin sedikit saja orang yang perilakunya menggambarkan ilmu yang ada pada dirinya. Sehingga mereka cederung menodong “Mana Dalilnya? Apa buktinya?. Heleh..ustadzh aja kayak gtu sekarang, apalagi Kiai” Dan kami yang hidup di kalangan para Kiai, karena seperti yang dikatakan sebelumnya tidak tahu dalilnya, tepatnya tidak hafal. karena kami tahunya sudah jadinya, gak tau bahan-bahannya. Jadi mereka yang bertanya itu bukan salah mereka juga lalu kemudian ‘nyinyih’ atau meremehkan pada kita. Karena tidak ada buktinya mereka ya tidak percaya, lha wong mereka tidak mengenal Kiai sebagaimana kita. Lalu ketika mereka mencari sendiri, dengan kemampuan otak mereka yang terbatas, nyari dalil sendiri,nyari hadist sendiri, mikir sendiri, dengan sumber mbah google yang entah dari mana asalnya, yang bisa saja disusupi paham-paham ngawur. Dari pengetahuan mereka yang setengah-setengah, dari puzzle-puzzle doktrin yang entah nyambung entah tidak, yang mereka simpulkan sendiri. Kemudian mereka bingung yang ditunjukkan oleh perilaku mereka yang semakin aneh, tak tau arah jalan dan tidak tau mana alirannya, ya bukan salah mereka juga, lha wong mereka tidak mengenal Kiai sebagaimana kita. Pas kita berusaha membenarkan, dan mereka tidak percaya karena sekali lagi tidak bisa menyebutkan dalilnya . Ya bukan salah mereka lha wong mereka tidak mengenal Kiai sebagaimana kita. Saya sering sekali geregetan ketika mereka menganggap kita dengan nada meremehkan bahwa kita di doktrin manut kiai karena menyerahkan semua permasalahan, padahal para kiai itu dengan bermurah hatinya sudah menyerahkan suatu pemecahan masalah ibartnya ‘karek ngelakoni’ tanpa kita dipusingkan oleh macam macam dalil. ingin sekali saya membentak “Nek ra manut Kiai, njuk aku kon manut sopo? Pemerintah seng gaene korupsi? Opo DPR seng gaene padu? Opo professor seng ora njowo ilmu agama? Opo manut mbah google? Opo manut kamu seng Alfiah, imrity, nahwu,shorof, fathul qorib, qowaid, ihya’ ora pernah nyicipi padahal itu dasar ilmu ilmu agama?” . Ya... maaf atas kekurangan saya terutama yang begitu bebal, tidak mau menulusuri keilmuan kita, dan mau enaknya sendiri cuma manut kiai. Manut memang hal yang paling enak. Ya saya maklum kalau sebagian besar orang menganggap kita itu taqlid buta, karena pengetahuan kita sudah berasal dari olahan kiai kita. itu juga merupakan kelemahan kita. Tapi walaupun begitu kami juga tahu mana kiai yang memang pantas dan mumpuni untuk ‘dimanuti”. Tahu mana kiai beneran dan jadi-jadian. Makanya kami lebih suka kiai kampung, yang benar-benar tahu keadaan masyarakat,
membaur dengan masyarakat, enggak asal ceplos dalil tanpa mengetahui akar masalahnya dan keadaan sebenarnya dilingkungan masyarkat.
Kami juga tidak pernah benci dengan utadz utdaz gaul yang ada di TV, kami paham bahwa masyarakat modern sekrang. Lebih cocok dengan ustadz yang modelnya semacam itu. Khususnya masyarakat kota, kantoran, pejabat, atau apalah itu. Karena perkembangan masyarakat modern yang memang menuntut demikian. Tapi ingatlah bahwa masih ada kalangan masrakat yang masih sangat amat membutuhkan pertolongan para kiai kampung, terutama kalangan masyarakat pedesaan... yang untuk memikirkan hidupnya saja susah apalagi memikirkan pemecahan masalah agama. Jadi semua itu ya ada tempatnya. mari kita menempatkan segala sesuatunya dengan adil.
Terus kesimpulannya piye? bener pora manut kiai? ya namanya juga ‘hal’ pastinya da kurangnya, pasti juga ada lebihnya seperti yang telah disebutkan diatas. Jadi itu menurut saya pribadi tergantung kebutuhan masyarakat. Yang manut kiai ya angan ‘nyalah-nyalahne’yang enggak manut, Yang enggak manut ya jangan menutup diri dari orang yang manut kiai. Seperti yang sering diyakinkan oleh pengamat-pengamat. Dari dua kubu yang berbeda antara kubu yang menjujung tinggi modernitas dan menjunjung tinggi traditionalitas.. NU dan Muhammadiah (Sebut merk) karena kita tahu bahwa Kiai kebanyakan berasal dari kalangan NU. Katanya Muhammadiyah itu ibarat perpustakaan yang kaya buku tapi tidak ada literaturnya. kala NU ya sebaliknya. kaya Literatur tapi tidak ada bukunya. Njok piye kui? Yo digabung wae..kok repot. Ayolah kita kerjasama. Gak usah’Terlalu’ skeptic pada aliran orang. Mau tidak mau kita mengikuti perubahan zaman, dimana orang tidak perlu repot-repot lagi Tanya ke Kiai. Karena sudah digantikan oleh mbah google. Kalau saya boleh meneremahkan bebas, ya mungkin itu alasan Alloh memanggil tokoh-tokoh masyarakat di bumi ini, para kiai, ilmuan, alim ulama, di panggi ke sisi Tuhan. Kerna tugas mereka menjawab segala macam pertanyaan masyarakat memang sudah berkurang digantikan oleh teknologi yang bisa menjawab-dengan resiko salah paham. Dan dengan berkurangnya masyarkat yang ‘kepo’ itu, Tuhan yang begitu sayang mereka, kasian melihat mereka selalu memintakan ampun kepada Tuhan atas tingkah polah kita yang kayak orang kesurupan ini, dan kasihan melihat mereka menanggung beban berat di dunia yang fana ini. Alloh dengan kasihnya, memanggil merkea di sisi-Nya di tempat yang lebih layak.
Trus pada tanya lagi, ya jelas. Kamu dari kalangan Nu yang bla bla bla..ya pasti membela kiai dan fanatik terhadap kiai yang bla bla bla bla. Lha piye..yang aku pahami ya itu. Aku menulis ini karena aku setidaknya sedikit tahu, dan ikut berproses dan tinggal di kehidupan yang semacam itu. Kalok aku nulis yang berbeda sama sekali dengan pengetahuanku. HAduuh...bisa kayak nulis skripsi perjuanganku. Ini aja udah berhasil bikin saya lupa makan. Karena saking asyiknya-atau pusingnya. kalau saya sama sekali gak tahu, makin lama saya cari-cari sumber info di google. Yang mana info info itu kadang sudah di bumbui oleh bumbu instan yang salah, ra enak sisan. Yo runyam lagi urusannya. Ya kalo dirasa tulisan ini tidak netral, memihak atau berat sebelah. Tolong dimaklumi namanya juga otak dengan kapasitas terbatas.
Jadi intinya (lagi) karena yang didunia ini tinggal sisa-sisa, kasarnya. Yang tau masalah cuma setengah-setengah, cuma literaturnya doank dan cuma bukunya doang. ya mari kita bekerja sama untuk mengutuhkan kembali pengetahuan kita dan keilmuan kita, dan bersama menegakkan panji panji islam( cieee-ciee) Masih tidak sependapat dengan saya? Ya wajar...kalok sama namanya kembar. dan saya jadi enggak limited edition lagi haha. Malah bagus...jaman sekarang itu manutan gak boleh. Yang bagus aja ternyata busuk. Dan yang busuk ternyata bagus #curhat. Wong kok manutan (apaan sih woy..selesainya kapan nih tulisan). hahaha ya maaf-maaf. Kalok menulis saya sering lupa diri. Ya pokoknya bgtu lah ya. Salam perdamaian ALLOUHU AKBAR !